Bijogneo Home
Jika anda berada di lantai dasar dan ingin naik ke lantai teratas gedung yang tingginya 508 meter, dan tiba disana hanya dalam waktu kurang dari satu menit, saat ini hanya bisa terjadi di The Taipei Financial Center. Lift gedung ini mempunyai kecepatan maksimum..
FOKUS
Fiksi - Langkah
1 2 3 4 5 6 7
Saya tahu caranya masuk ke dalam mimpi seseorang yang sedang tertidur. Mimpi adalah aktivitas bawah sadar seseorang yang sedang tertidur. Anda tentu pernah mengalami mimpi dengan penampakan..

Halaman

Senin, 17 Januari 2011

Koin 200 Rupiah Dibuang


Banyak orang tidak menyadari nilai satu koin Rp 200.  Koin senilai ini sering hanya disimpan di dalam laci, atau diletakkan di sembarang tempat, dan tidak bermaksud untuk diingat lagi.
Perhatikan jika anda memberikan koin ini pada polisi cepe, mereka hanya melirik koin itu sebentar, kemudian membuang dengan cara melentingkan dengan ibu jarinya  ke udara dan tidak perduli koin itu jatuh ke arah mana.  Di abad-abad mendatang, ini mungkin bisa menjadi temuan dan pertanyaan arkeolog “Kenapa pada jalan di kota-kota besar Indonesia pada abad 20 - 21, di setiap belokan yang tidak ada pengaturan lampu lalu lintasnya, banyak ditemukan koin Rp 200-an?”
Jika pertanyaan itu muncul di abad 50-an mendatang, bisa dibayangkan betapa sulitnya para arkeolog nanti merangkai teori dan menyusun latar belakang budaya Indonesia dikaitkan dengan temuan koin Rp 200-an ini.
Ada yang ingin membuktikan nilai koin Rp 200? Coba berikan koin itu kepada anak-anak yang masih di SD atau SMP, atau kalau nekat berikan kepada anak SMA dan katakan: “Ini uang untuk ke sekolah dan jajan, kembalikan sisanya ya!”
Coba kita hidupkan mesin waktu dan kembali ke tahun 1973.  Tepatnya tanggal 1 April 1973 jam 6 pagi di Pasar  Senen. Zeeep… anda dan saya berdiri ditengah kerumunan orang, persis di tengah-tengah pasar tradisional, ramai dengan hiruk-pikuk pedagang pasar serta pembeli. Terdengar sahut-menyahut tawar-menawar dagangan di kios-kios, serta suara buruh pasar yang lalu-lalang…”awas…, awas…, minggir.., minggir..” Tiba-tiba suara-suara itu berhenti dan sunyi, hampir semua aktivitas terhenti, sejumlah orang nampak bengong memandang ke arah kita.  Kehadiran anda dan saya yang secara kilat dan berpenampilan abad 21, dengan HP  di pinggang sangat mengejutkan dan membuat orang terheran-heran.
Tepatnya kita berdiri di depan kios beras. Namun kita putuskan, saya membeli beras dan anda membeli US Dollar (kurs USD di tahun 1973 adalah Rp 415)
“Berapa sekilo bu?”
“Lima puluh..”
“Beli empat kilo bu..” saya lalu menyerahkan koin Rp 200
“Ini uang baru ya..?”
“Tidak di abad saya…”
Anda sendiri dengan Rp 200 hanya dapat membeli USD 0,5 (kita bulatkan saja)
Mesin waktu membawa kita kembali ke 2010. Sekarang juga kita jual USD (kurs Rp 9.400) dan beras untuk harga Rp 6.000 per kilogram.  Wow lihat sekarang anda mengantongi hampir Rp 4.700 dan saya mengantongi Rp 24.000  ha..ha..ha..ha…
Dalam dunia nyata, uang Rp 4.700 yang anda miliki sekarang adalah  nilai yang sebenarnya secara ekonomi. Katakanlah anda menyimpan USD 0,5 di tahun 1973, kemudian anda cairkan seluruhnya di tahun 2010. Sementara uang Rp 24.000 yang saya miliki dari penjualan beras, adalah kondisi yang tidak real secara ekonomi. Di tahun 1973/1974 Indonesia masih mengimpor beras sebanyak 1.225.000 ton untuk memenuhi kebutuhan  1.493.000 ton. Dan harga beras Rp 50 itupun sebenarnya terkait dengan subsidi pemerintah atas pangan, BBM, dsb.
Seperti telah diketahui sebagian besar subsidi tersebut telah dicabut, artinya masyarakat  dengan ekonomi lemah atau buruh di Jawa Timur dengan Upah Minimum Proprinsi Rp 630.000 untuk seorang diri saja perlu mengeluarkan uang 20 kg X Rp 6.000 atau sebesar Rp 120.000.
Nah kita kembali ke koin Rp 200 tadi, dalam dunia nyata seorang buruh memiliki UMP Rp 630.000 harga beras Rp 6.000 per kilogram, lalu apa yang yang ia bisa beli dengan koin Rp 200 itu? Permen tidak, cabe juga tidak, paling banter hanya dapat 3 lembar kertas HVS yang bisa digunakan untuk melukiskan ketidak seimbangan ekonomi yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar